Cinta dimana kita menemukan seseorang yang bisa membuat kita
tidak bisa mencintai orang lain selain dia, dimana perasaan bercampur aduk tak
menentu, dimana semua hal yang dianggap tak wajar bisa menjadi wajar, dimana
yang tak layak bisa selayaknya, dimana senyum bisa menjadi tangis, dimana luka bisa
menjadi tawa.
Cinta sejati ada ketika perasaan itu akan tetap hidup dan
tumbuh sekalipun seseorang yang kita cintai telah meninggalkan, menyakiti, dan
pergi tak kembali akan tetapi cinta untuknya masih akan tetap ada dan tumbuh
seiring waktu mengiringi langkah – langkah kehidupan yang terus berlangsung dan
tak akan pernah sudi untuk berhenti.
“June, besok aku tidak bisa masuk
kerja, anakku sakit demam dirumah dan suamiku sedang bertugas. Kamu
sendiri taukan suamiku seorang aparat
kemanan negara”. Ucap Nadya teman seruanganku dikantor.
“Iya aku tahu, suamimu seorang
TNI-AD yang siap sedia menjalankan tugasnya”. Ledekku iseng.
“Dasar June dari dulu sampai
sekarang tidak pernah berubah. Kapan akan menikah dan segera memiliki seorang
anak?”. Ucap Nadya
“Nanti setelah dia pulang”. Ucapku
sambil mengerjakan pekerjaan kantorku.
“Lima bahkan Tujuh tahun yang lalu
kamu terus saja menjawab dengan jawaban yang sama, sedangkan dia tidak kunjung
datang untuk menemuimu, June”. Ucap Nadya lagi.
“Lima, Tujuh, Delapan, atau bahkan
puluhan tahun aku akan tetap menunggunya kembali, karena itu janjiku padanya,
setia menunggunya untuk kembali padaku”. Ucapku sambil berjalan meninggalkan
ruangan untuk mengambil secangkir kopi.
“Terserah kamu. Dan selama itu juga
kamu melajang”. Ucap Nadya sambil mengerjakan pekerjaannya.
Mataku
tidak tertutup untuk melihat kenyataan yang benar – benar terjadi padaku, Lima,
Tujuh, Bahkan sekarang, sudah delapan tahun dia tak kunjung kembali kepadaku,
aku tahu. Tapi bagaimana dengan perasaaanku padanya? Perasaanku yang tidak akan
pernah habus untuk mencintainya bahkan jika sosoknya tak ada dihadapanku. Aku
tetap tak bisa berhenti mencintainya, dan kuharap diapun seperti itu.
“June, kamu sedang apa? Kopimu
kepenuhan”. Ucap Tracy karyawan asing yang bekerja di kantorku.
“Oh, aku kelelahan sehingga aku
mengantuk. Maaf aku mengisi cangkirnya terlalu penuh”. Ucapku sambil mengambil
tissu yang ada didapur kantor.
“Kamu baik – baik sajakan June?”.
Ucap Tracy sambil membantu menglap kopiku yang berceceran.
“Iya Trac, aku gak apa – apa.
Makasih atas bantuannya”. Ucapku yang masih membersihkan.
“Oh iya, malam ini aku ingin
mengajak orang kantor untuk pergi ke restoran jepang, aku akan mentraktir kalian
karena kali ini aku sudah tidak melajang”. Ucap Tracy sambil menunjukan Cincin
yang dikenakan dijari manisnya padaku.
“Ya ampun !, berarti sebentar lagi
kamu akan menikah?”. Ucapku tak percaya.
“Iya June, aku akan menjadi istri
dari seseorang. Aku senang sekali June akhirnya dia melamarku”. Ucap Tracy
dengan wajahnya yang sangat gembira.
“Akhirnya kamu menikah Trac, aku
senang sekali mendengarnya”. Ucapku sambil memeluk Tracy.
“Giliranmu yang harus menikah
setelah aku menikah”. Ucap Tracy padaku.
“Iya, sebentar lagi dia kembali,
aku yakin”. Ucapku sambil meneguk kopiku.
“Kamu yakin akan terus
menunggunya?. Aku pikir dia berbohong akan kembali padamu June. Ini sudah masuk
tahun ke delapan kamu menunggunya dan dia tak kunjung kembali padamu. Apa kamu
yakin padanya, june?”. Ucap Tracy mencemaskanku.
“Aku harus yakin dia akan kembali,
meskipun aku tak tahu kapan ia akan kembali padaku”.ucapku sambil berjalan
menuju ruangan kerjaku, dan melanjutkan kembali pekerjaanku.
“Kamu akan ikut setelah pulang
kerja nanti?”. Tanya Nadya yang berdiri di samping kursi kerjaku.
“Acara Tracy? Iya aku mungkin akan
ikut. Lagipula aku tidak ada kerjaan kantor lagi yang harus dibawa pulang”.
Ucapku sambil menyelsaikan pekerjaanku.
“Baguslah, semoga kamu menemukan
seseorang disana”. Ucap Nadya padaku.
“Maksud kamu?”. Tanyaku
“Seseorang yang bisa kamu jadikan
pacar atau suami”. Ledek Nadya padaku.
“Memangnya seseorang itu bisa
ditemukan hanya dalam hitungan beberapa waktu saja? Dasar kamu ini Nad”. Ucapku
sambil mematikan komputerku karena pekerjaanku sudah selesai.
“Menurutmu butuh berapa tahun lagi
untuk memulai hidup dari awal?”. Ucap Nadya.
“Kamu menghawatirkan aku?”. Ucapku
sambil merapikan meja kerjaku.
“Iya, aku menghawatirkan teman
seruanganku yang terus menunggu seseorang tanpa kabar. Kamu pikir umurmu berapa
sekarang, apa ini waktunya untuk tetap melajang? Aduh!! Rasanya aku seperti
seorang ibu yang sedang memaksa anaknya untuk segera menikah”. Ucap Nadya
sambil mengenakan Jasnya.
“Makasih nad”. Ucapku sambil
menggandeng tangannya dan berjalan menuju luar ruangan kerja.
--
“Wah Mau berapa banyak lagi orang
itu minum Arak?”. Ucap Nadya sambil memperhatikan Her teman sekantor kami yang
sedang berlomba meminum arak.
“Biarkan saja selagi mereka masih
muda dan tubuh mereka masih kuat”. Ucapku sambil meneguk secangkir Arak.
“Argh! Anak ini juga ikut – ikutan,
apa badan kamu masih sanggup menahan kerasnya Arak?”. Ucap Nadya sambil
mengambil cangkir Arak dari tanganku.
“Masih. Akukan masih muda”. Ucapku
sambil tersenyum pada Nadya.
“Hah! Dasar kamu ini. Umurmu sudah
tidak seperti mereka lagi June”. Ucap nadya sambil menuangkan air teh hijau ke
gelasku. “Minum ini, jauh lebih baik”.
Ucapnya lagi.
“Iya, aku tahu. Tapi sesekali ingin
minum arak tidak apa – apakan?”. Ucapku sambil mengeguk teh hijau yang
diberikan nadya padaku.
“June, kemari sebentar”. Ucap Tracy
padaku dan aku berjalan menuju kearah Tracy.
“Kenapa Trac??”. Tanyaku
“Calon suamiku akan menjemputku
sepulang kita merayakan ini. Aku ingin mengenalkan dia padamu, apa kamu ada
waktu?”. Ucap Tracy yang sangat gembira, wajahnya tidak bisa menyembunyikan
kegembiraannya itu.
“Aku? Setelah ini aku harus pulang.
Aku punya hewan peliharaan dirumah yang belum diberi makan. Maaf ya, mungkin
lain kali saja”. Ucapku
“Oh begitu ya, kalau begitu lain
kali kamu tidak boleh menolak lagi aku kenalkan pada calon suamiku”. Ucap Tracy
padaku.
“Iya aku tidak akan menolak lagi”.
--
“Semuanya aku pulang duluan”. Ucaku
pada teman – teman sekantorku.
“Kakak, jam segini memangnya masih
ada bus?”. Tanya Her padaku
“Masih, eh itu dia busnya datang.
Aku pulang duluan ya”. Ucapku sambil berjalan lalu menaiki bus yang berhenti
dihadapanku.
“Hati – hati kak”. Ucap Her sambil
melambaikan tangannya padaku.
Aku
duduk dikursi bus kedua dari belakang.
Hari ini busnya sangat kosong, mungkin karena hari sudah larut. Ini tempat
duduk favoritku semenjak dulu saat aku masih kuliah. Dari sini Nampak terlihat
aktivitas penumpang lain dan pemandangan diluar yang terlihat jelas, aku sangat
menikmati pemandangan dari tampat duduk ini, sangat indah kurasa. Selintas aku
jadi teringat saat delapan tahun yang lalu aku duduk dikursi bus seperti ini
bersama dia, bersama seseorang yang aku cintai.
Hari
dimana untuk terakhir kalinya aku untuk melihatnya, menyentuhnya, dan
memeluknya. Hari itu dia menghabiskan malam terakhirnya di Negara kami untuk
kemudian ditugaskan ke Pakistan. Dia adalah seorang wartawan berita dan aku
adalah seorang penulis yang berkerja di sebuah majalah kota yang sudah cukup
terkemuka. Kami adalah pasangan yang suka sekali membicarakan berita – berita
yang terjadi, baik itu berita tantang nusantara hingga berita kriminalpun kami
bahas, kami sangat menyukai pembicaraan itu hingga kami sadar waktu tak lagi
malam melainkan pagi, dan itulah akhir dari pertemuan kami.
Seperti
saat ini aku tak menyadari bertapa lelahnya aku untuk terus menunggunya.
Bertapa tuanya aku untuk tetap menunggunya, bertapa malunya aku ketika akan
menemuinya dengan kerutan – kerutan yang sudah mulai terlihat diwajahku.
Kulitku yang halus tak lagi sehalus dulu. Tubuhku yang segar tak sesegar dulu,
wajahku tak semuda dulu, semuanya telah berubah, diriku, penampilanku, dan
hidupku.
“June, ayo cepat turun”. Ucap sopir
bus yang sudah tidak asing lagi bagiku, dia adalah supir bus yang kukenal karena
hampir setiap hari aku satu – satunya penumpang yang menaiki bus miliknya dijam
– jam larut seperti ini.
“Iya pak. Terima kasih”. Ucapku
sambil memberikan uang bayaran jasa dan lekas turun dari bus itu lalu berjalan
menuju arah rumahku yang tak jauh dari jalan raya.
--
“Semuanya aku pulang”. Ucapku
ketika aku masuk kedalam rumah.
Dan hanya Sayup sayup angin malam
membalas salamku seperti biasanya. Aku tinggal sendirian, orang tuaku tinggal
di kota yang berbeda denganku. Ini bukan keinginanku untuk memisahkan diri dari
mereka tapi tuntutan dari pekerjaanku yang mengharuskan aku tinggal dikota yang
berbeda dengan orang tuaku.
Aku
berjalan menuju akuarium dan memberi makan ikan – ikan peliharaanku. Kulihat
mereka semakin tua, cara berenang mereka sudah tidak selincah saat dulu pertama
kali aku membelinya, sekarang mereka berenang bagaikan ikan – ikan yang
kelaparan tidak bertenaga dan menjadi tua. Mungkin aku juga seperti mereka,
menua setiap harinya.
Kupandangi
wajah dan tubuhku didepan cermin dengan seksama. Wajah yang kulitnya sudah tak
sesegar dulu, penuh kerutan dan tanda – tanda penuaan, dan tubuhku?, tubuhku
tidak seperti dulu, semuanya mulai terasa kendur dan ada beberapa lemak yang
tertimbun didalam tubuhku. Rambutkupun tak seindah dulu, tampak kusam dan
lusuh. Selintas pertanyaan membayang dipikiranku, inikah aku? Inikah aku yang
delapan tahun kemudian menjadi wanita tua? Wanita tua yang sendiri dan
kesepian.
Kutaburkan
bedak sebanyak – banyaknya diwajahku, kuusapkah blush on di pipiku hingga
merona, kugunakan eyelinear dan eyerolls untuk menutupi kantung mataku, tapi
sumuanya masih terlihat jelas. Kerutan – kerutan itu dan mata yang mulai
membengkak. Semua make up ini tidak membantu.
“Kenapa aku harus Tua!!!!!!! Tak bisakah
aku tetap muda hingga dia kembali!!!!!!!”. Teriakku sambil melemparkan
peralatan make up ku ke lantai dan berlari menuju kamar mandi.
Kurebahkan
tubuhku di bath Up, air hangat ini mungkin bisa membantu mengembalikan suasana
hatiku menjadi baik. Tapi kurasa tak membantu!!
Wajahnya,
senyumnya, kata – katanya sangat – sangat terlukis jelas diingatanku dan tak bisa
kuhapus meskipun berkali – kali sudah kucoba. Air ini tak sehangat ketika ia
memelukku, air ini tak setenang seperti saat ia berada disampingku. Air mata
yang menetes ini tak berarti bila ia tidak ada disini. SEMUA HIDUPKU TAK
BERARTI TANPANYA!!
--
“June, apakah kamu baik – baik
saja? Kulihat seharian ini kamu tampak murung?”. Ucap Tracy duduk disampingku
pada saat istirahat makan siang.
“Iya”. Ucapku sambil tersenyum
kepada Tracy.
“Apa kamu sakit June?”. Ucap Tracy
sambil memegang dahiku.
“Tidak, aku baik – baik saja”.
Ucapku
“Kenapa makannya tidak kamu makan?
Ada apa June? Tak bisakah kamu berbagi dengannku?”. Tanya Tracy padaku lagi.
“Tidak, aku tidak apa – apa Trac”.
Ucapku sambil berjalan menjauhi Tracy.
Langkah demi langkah terasa sangat
ringan. Mataku pun terasa sudah rabun. Tubuhku yang sudah tua ini rasanya
berjalan tidak karuan. Kakiku pun sudah tak sanggup menopang tubuhku lagi
hingga aku terjatuh dan semuanya menjadi gelap, gelap sekali.
“June, kamu baik – baik saja?”.
Ucap seseorang yang suaranya sudah tidak asing lagi bagiku.
Sedikit
demi sedikit aku membuka mata, terlihat sosok seseorang yang sangat familiar
untukku meski penglihatanku agak kabur, tapi lama kelamaan sosok itu terlihat
jelas. Jelas sekali hingga aku tak sanggup untuk tidak menatapnya sedetikpun.
Seseorang
yang selama ini ingin kutemui, ingin kusentuh, ingin kupeluk, dia ada
dihadapanku. Dia berdiri disampingku dan tangannya yang hangat sangat terasa
menggenggamku. Dia, dia adalah seseorang yang Selama ini kutunggu, ini benar
dia. DIA ADA. DIA NYATA DAN DIA HIDUP. dan aku tak tahu harus bagaimana ketika
dia menemuiku seperti ini.
“June”. Ucapnya dengan nada suara
yang tak pernah berubah, suara yang menggetarkan seisi hatiku, suara yang
selama ini kurindu untuk menyebut namaku.
“Ga. . .”. ucapku yang tiada henti
menatapnya, dan menggengam tangannya.
“Maaf June aku baru bisa datang
sekarang. Maaf aku membuat waktumu terbuang sia – sia hanya untuk menungguku.
Maaf karena aku terlambat”. Ucapnya dengan mata berkaca – kaca.
“Saga, tak ada kata terlambat untuk
kamu kembali kepadaku dan tak ada kata sia – sia untuk aku menunggumu”. Ucapku
lalu menyentuh wajahnya.
“Maaf June, karena aku hidupmu
susah, maaf karena aku kamu harus disini, maaf karena aku kamu terus sendirian”.
Ucapnya lebih erat menggengam tanganku.
“Beribu ucap kata maaf tak penting
buat aku Ga, yang terpenting kamu kembali meskipun kini aku sudah tak semuda
dulu, tubuhku tak sesegar dulu. Kerutan – kerutan diwajahku mulai tumbuh, lemak
– lemak ditubuhku tertimbun, dan kulitku menua, aku akan disini dan menunggumu
kembali seperti ini”. Ucapku yang tanpa sadar meneteskan air mata.
“Kata maaf itu penting ketika janji
tak lagi bisa ditepati, kata maaf itu penting ketika kita tak bisa lagi
melakukan hal apapun, dan kata maaf itu penting ketika kita tak bisa membalas
semua pengorbanan, cinta, kasih sayang, dan hidup seseorang. Kata maaf itu
penting karena hanya itu yang bisa teruucap tak ada kata lain yang dapat
mewakilkan segala penyesalaan dan ketidak bergunaan dalam diri selain kata
maaf”. Ucap Saga yang juga meneteskan air mata.
“Kenapa kata maaf itu lebih penting
bagimu dari pada pertemuan ini? Apa setelah ini kamu juga akan meninggalkan aku
lagi? Dan membuatku menunggu lima, tujuh, atau bahkan delapan tahun kedepan?
Menunggumu hingga diriku berubah menjadi wanita tua yang kesepian tanpa
cinta??”. Ucapku penuh emosi.
“Maaf”. Ucapnya sambil memelukku.
“Maaf membuat kamu seperti ini”.
“Aku sadar, aku bukan lagi June
yang berumur 22 tahun yang terakhir kali kamu lihat, kamu sentuh dan kamu
peluk. Aku june yang berumur 29 tahun. June yang sudah mulai keriput, june yang
tua dan kesepian, aku sadar dibanding denganmu yang kulihat aku lebih tua
terlihat darimu meski kamu lebih tua 3 tahun dariku. Apa itu penyeselanmu?
Karena harus bersama wanita tua seperti aku? ”. ucapku lirih sambil terus
memeluknya.
“Maaf”. Ucapnya
“Bisakah berhenti mengatakan maaf?
Itu membuat aku merasa takut”. Ucapku lagi.
“Maaf”. Ucapnya lagi.
“Tolong hentikan! jangan katakan
kata maaf itu lagi padaku, aku merasa tak berarti bila kamu pergi
meninggalkan aku, aku tak sanggup lagi menunggu, aku tua!!! AKU SUDAH TUA!!”.
Ucapku sambil menangis dipelukannya.
“Maaf”. Ucapnya
“Aku takut. Takut sekali kamu tidak
bisa kembali dan menemui aku. Aku takut aku tak bisa lagi melihatmu, aku takut
tak bisa lagi menyentuhmu, aku takut tak bisa memelukmu, aku takut aku menjadi
wanita tua yang kesepian menunggumu, aku takut. Aku sangat takut apa kamu tahu
itu?? Aku takut maka hentikan berkata maaf padaku lagi, karena aku takut, takut
kamu pergi meninggalkanku lagi”. Ucapu masih memeluknya dan terus menangis.
“Maaf”.
Aku
berhenti memeluknya dan memandangi wajahnya. Wajah yang tak berubah seperti
saat kami terakhir bertemu delapan tahun yang lalu. Wajah yang sama, tubuh yang
sama, suara yang sama tak sedikitpun ada yang berubah dari dia, tidak seperti
aku yang mengalami banyak perubahaan. Wajahnya yang menangis dihadapanku,
wajahnya yang tiada henti memandang wajahku, wajahnya yang tak pernah ingin
sedikitpun waktu terlewatkan untuk melihatnya terus menerus, wajahnya yang
membuat hatiku terasa sakit dan bahagia ketika memandangnya.
“Untuk apa datang kepadaku bila
kamu harus meninggalkan aku lagi?”. Ucapku padanya.
“Maaf”.
“Apa karena aku berubah menjadi
wanita tua sedangkan kamu tidak?? Apa karena perasaanmu padaku sudah hilang?.
Puas menyiksaku seperti ini?” Teriakku padanya.
“Maaf”.
“Apa kesalahanku hingga kamu berani
menghukumku seperti ini?”.
“Maaf”.
“Apa kamu tidak bisa mengucapkan
kata lain selain maaf??”.
“maaf”.
“Aku lelah mendengar kamu terus
mengatakan itu. Sudah aku bilang aku takut. Tolong hentikan, kumohon
hentikanlah demi aku, demi aku yang Selama ini mencintaimu, demi aku yang tiada
henti menunggumu, demi aku yang menanggis
dihadapanmu, tolong hentikan. Hiks. . .hiks. . .”. ucapku yang tak kuat lagi menahan semua emosi.
“Maaf June, hanya itu yang akan
selalu kukatakan padamu, selama waktu mengijinkanku untuk menemuimu”. Ucap Saga
sambil menghapus air mataku.
“Sekarang, haruskah kamu pergi dan meninggalkan aku lagi?”. Ucapku sambil
menangis
“Maaf June”.
“Jangan katakana maaf, katankan
padaku haruskah aku menunggumu lagi hingga aku bertambah tua??”. Ucapku lagi
“Tidak June, tidak lagi”. Ucapnya
sambil menatap wajahku.
“Kenapa aku tidak boleh menunggumu?”.
Ucapku sambil menggenggam tangannya.
“Karena aku tak mungkin kembali
padamu”. Ucapnya
“Kenapa? Ada seseorangkah?”.
Tanyaku dengan emosi yang terus meledak – ledak setiap waktunya.
“Tidak selain kamu, tapi karena aku
tidak bisa kembali padamu maka dari itu ingin rasanya terus kukatakan maaf
padamu hingga kamu memaafkan aku”. Ucapnya sambil menggengam tanganku.
“Tidak akan pernah aku maafkan”.
Ucapku sambil melepaskan tangannya lalu berjalan menjauh darinya.
“maaf june”. Ucap saga yang masih
tetap berdiri di belakangku tanpa mengejarku yang berjalan menjauh darinya.
“June!!!”. Kudengar suara seseorang
berteriak memanggilku.
“June. .”
“June!!!!”.
Aku
melihat wajah Tracy tepat berada dihadapanku. Dan kulihat tidak ada Saga lagi.
Aku segera terbangun dari ranjang rumah sakit dan berjalan kerarah sekitar
untuk mencari saga.
“Saga!!!”. Teriakku sambil terus
berjalan tanpa mengenakan alas kaki.
“Saga!!!!!! Saga!!!”. Teriakku lagi
dan tanpa sadar air mata menetes membasahi pipiku. Aku terus mencari disemua
sudut ruangan, tapi tak kunjung kutemui dia.
“Saga!!!!”. Teriakku lagi sambil
terus berjalan mencari saga di sekitar rumah sakit.
“June!!”. Teriak Tracy sambil
menarik tanganku dan menghentikan langkahku.
“Saga!!!!!!!!!” teriakku lagi.
“Mana Saga???? Saga!!!!!!”. Teriakku lalu duduk dan terdiam di lantai rumah sakit.
“June”. Ucap Tracy sambil memelukku
dan menangis.
“Sa. .ga. . .”. ucapku lirih
“June, kumohon hentikan. Hentikan
semua penantianmu ini”. Ucap Tracy padaku.
“Saga. . .”. ucapku terus menangis.
“June, jangan menyebut namanya
lagi. Ini membuat kamu semakin sakti June. Hentikan June kumohon, hentikan”.
Ucap Tracy sambil terus memelukku.
“hiks. . .hiks. .aku tidak akan
memaafkan dia bila dia tidak kembali lagi padaku saat ini, aku tidak akan
berhenti menunggunya bila dia tidak disini sekarang, aku akan tetap berteriak
memanggil namanya bila dia tidak datang sekarang aku akan tetap begini tak
ingin berhenti menunggunya”. Ucapku
dengan air mata yang tidak berenti mengalir.
“June cukup. Hentikan semua ini
June. Ini hanya akan membuat kamu terluka”. Ucap Tracy padaku.
“Aku tahu dia disini, aku tahu dia
bersembunyi karena tidak ingin bertemu dan kembali lagi padaku, aku tahu itu,
maka dari itu aku tak akan memaafkan dia bila dia tidak datang sekarang, tidak
akan pernah aku maafkan”. Ucapku lagi.
“Saga!!!!!!!”. Teriakku lagi sambil
melihat kesekeliling.
“June, kumohon hentikan”. Ucap
Tracy terus memelukku.
“Tracy!!!!”. Teriak seorang pria
dari arah lorong tempat kami duduk.
“Dan!!!”. Ucap tracy.
“Maaf aku terlambat”. Ucap
seseorang itu pada Tracy.
Aku melihat kearah laki – laki yang
berteriak memanggil nama Tracy, itu mungkin calon suaminya.
“Sudah waktunya Dan, tolong jangan
buat dia menunggu lagi”. Ucap Tracy pada pria itu.
“Iya”. Ucap pria itu sambil
mengeluarkan sebuah kotak kecil yang diberi pita berwarna merah dan secarik
kertas dari tas yang ia bawa.
“Ini”. Ucap pria itu memberikan
kotak dan surat itu padaku.
“Apa ini?”. Tanyaku sambil
mengambil kotak dan surat yang ia berikan padaku.
“Itu milik Saga”. Ucapnya padaku.
“Saga??”. Ucapku sambil membuka
kotak kecil yang ia berikan, ternyata kotak itu berisi sebuah cincin yang di
bagian dalamnya bertuliskan ‘saga’. Aku memandangi cincin itu lalu mengnakannya
dijari manisku seperti cincin yang digunakan Tracy di jari manisnya. Dan aku
membuka secarik kertas lusuh yang hanya bertuliskan ‘Maafkan aku June’.
“Itu yang ingin Saga berikan
padamu, saat dimana ia akan kembali untuk
menemuimu”. Ucap pria itu padaku.
“Mana Saga!!!!!!!!!!!!!!!”.
Teriakku sambil menarik kasar kerah pakaian pria itu.
“June”. Ucap Tracy yang berusaha
menenangkanku.
“Saat itu hari dimana hari terakhir
kami bertugas di Pakistan. Ia mempersiapkan cincin itu untuk melamarmu
setibanya nanti. Tapi malam itu juga ia
ingin segera memakai cincin yang bertuliskan namamu di jarinya, padahal sudah
kukatakan biar nanti kamu yang memasangnya tapi dia bilang dia sudah tidak sabar
mengenakan cincin ini dijarinya. Esok harinya kami akan pulang dengan
halikopter yang dikirmkan untuk para wartawan yang meliput di daerah itu, tapi
Saga tidak ikut bersama kami, ia melihat anak kecil menangis ditengah – tengah
lapangan yang saat itu sedang marak sekali adu peluru antara petugas dengan
rakyat sipil, dan Saga memutuskan untuk menolong anak kecil itu lalu menunda
perjalanan pulangnya untuk menggunakah helikopter esok harinya. Aku sangat
kawatir padanya tapi dia bilang, aku akan baik – baik saja lalu ia menyuruhku
pulang dan ia berjanji akan menghubungiku malamnya. Aku terus menunggu bahkan
aku diam – diam membiarkan hpku agar bisa terus aktif dalam pesawat. Jam demi jam kutunggu tapi tak ada telfon
darinya. Hingga esok paginya saat kami telah sampai di bandara ia menelfonku dan
mengatakan ‘Jangan kawatir aku baik – baik saja dan akan segera pulang pagi
ini’ itu kata – kata terakhir yang aku dengar darinya lewat hpku. Aku
menunggunya dikantor hingga esok harinya, tapi ia tak kunjung datang. Hingga
malam harinya ada beberapa petugas yang datang ke kantorku memberikan tas yang
berisikan kotak dan secarik surat yang lusuh ini padaku. Mereka mengatakan
pesawat yang dinaiki saga mengalami gangguan sehingga terjatuh ke lautan daerah
laut seram, dan mereka menemukan tas ini terapung diatas laut, mereka menduga
saga melemparnya keluar lebih dulu sebelum ia menyelamatkan diri lalu surat itu
mungkin ditulisnya pada saat – saat emergency. Tapi sayangnya, hingga detik
inipun mayatnya tak pernah ditemukan bahkan kerangka kapalnya pun tidak ada,
itu yang selama ini ingin kukatakan padamu”. Ucap pria itu padaku.
Aku tak
sanggup berucap kata sedikitpun, rasanya hati dan jiwaku telah mati ketika aku
sadar bahwa aku telah kehilangan orang yang selalu kutunggu setiap waktunya.
Air mataku tak berhenti mengalir dan lebih deras mengalir dari sebelumnya.
Kurasakan tubuhku seperti tanpa nyawa dan aku merasa tak hidup. Aku sangat
menyadari bahwa aku tak mungkin bisa melihatnya, menyentuhnya bahkan
memeluknya, dalam mimpiku itulah yang terakhir kali aku bisa merasakan
semuanya. Meliaht apa yang ingin kulihat, menyentuh apa yang ingin aku sentuh,
dan memeluk dia yang ingin kupeluk.
Aku
merasa, kini aku hanya seorang wanita tua yang kesepian dan akan terus seperti
itu, selamanya akan seperti itu. Menanti seseorang yang tak akan pernah kembali
padaku meskipun aku memohon sekeras apapun. Wanita tua kesepian yang tak
berdaya, yang hidup tapi jiwanya mati bersama seseorang yang ia cintai.
Perlahan
ku angkat tubuhku dan kulangkahkan kakiku, semuanya terasa berat. Tubuhku,
kakiku dan langkahku semuanya terasa sangat berat. Apakah bebannya seberat ini?
Apakah seberat ini kehilangan dia hingga aku merasa aku tak mampu lagi berjalan,
terlalu berat. Sungguh terlalu berat, dan luka yang terasa juga begitu teramat
sakit, apakah sesakit ini rasanya?
“June!!”. Teriak Tracy sambil
mengejarku.
Aku
membalikan tubuhku kearah Tracy. Kuhapus air mataku dan aku tersenyum padanya,
ingin sekali kukatakan terima kasih tapi bibir ini tak sanggup mengatkannya.
Kutegapkan tubuhku dan kulangkahkan kakiku kembali, kuayunkan tanganku dan
kulihat cincin miliku terlihat sangat bersinar, secerah perasaan cinta yang
tulus dari saga untukku dan dariku untuk saga. Sekarang semuanya terasa lebih
ringan kurasa. Setelah kusadari rasa Cinta saga tak mati seperti raganya, cintanya
hidup didalam hatiku lewat cincin yang kukenakan ini. Tubuhku, kakiku,
langkahku dan senyumku semuanya terasa lebih ringan, sangat ringan dan entah
kenapa terasa semua beban hilang.
Aku
berjalan terus kearah luar rumah sakit dengan langkah yang sangat ringan dan
senyuman yangselama ini tak pernah lagi ku tebarkan dengan setulus ini. Sesaat
kupandangi cincin yang kukenakan tadi, terlihat sangat indah dengan gemerlap
cahaya lampu malam ini. kugenggam erat tanganku yang mengenakan cincin itu
seolah tangan sagalah yang sedang ku genggam dan tak ingin sedikitpun
kulepaskan karena aku ingin terus bersama saga, saat ini dan waktu kapanpun
ketika kesempatan itu ada, aku ingin bersamanya dan selalu bersamanya dan tak
ada artinya penantianku ini bila aku tidak bersamanya, aku sudah tua, aku tak
muda lagi sekarang , dan aku ingin tetap bersamanya, ingin dan akan selalu
seperti itu.
Tiba –
tiba kurasakan tubuhku terhempas dan terlempar kejalanan. Sangatlah ringan dan
tidak terasa apapun, tak ada beban.
Samar – samar kulihat cahaya remang lampu mobil yang berlumuran darah berada
tepat dihadapanku, dihadapanku yang kini terkapar dijalanan dengan darah
diwajah, lengan dan kakiku, tapi itu bukan yang terpenting. Yang terpenting aku
masih menggenggam cincin dijariku utuh seperti saat saga melemparkan tas yang
berisi cincin ini agar bisa diberikan kepadaku dalam keadaan utuh, dan ini hal
yang bisa membuatku masih tersenyum. Tersenyum ditengah kerumunan orang yang
melihatku yang berlumuran darah ini yang menanti kematian menjemput.
“June!!!!!!!!!!!!”. Teriak
seseorang yang kukenal, ya Tracy berteriak memanggilku dan menghampiriku
bersama calon suaminya.
“June. . . jangan seperti ini,
bertahanlah!”. Ucap Tracy sambil memelukku.
“Terima kasih”. Ucapku padanya.
“Terima kasih karena telah membuat aku memaafkannya”. Ucapku lagi lalu
tersenyum menatap wajah Tracy yang kemudian tak kulihat lagi wajah Tracy.
Kulihat
semuanya berbeda, aku bisa melihat tubuhku yang dipeluk erat oleh Tracy.
Kulihat tangannku masih kuat mengenggam cincin pemberian saga itu. Aku berjalan
menjauhi kerumunan itu dan kulihat seseorang disebrang sana. Seseorang yang
telah kumaafkan. Seseorang yang membuatku menunggu hingga aku tua. Aku berlari
kearahnya dan memeluknya erat. Kurasakan pelukannya nyata. Aku bisa melihatnya,
menyentuhnya bahkan memeluknya erat seperti ini. Inikah caraku bisa bersama
dengannya? Inikah jalannya? Jalan dimana sekarang aku menemui saga?. Dia menggenggam tanganku dan kami berjalan
bersama dengan langkah yang ringan.
Kulihat
wajahku tidaklah setua tadi, semuanya berubah. Aku menjadi aku sama seperti aku
delapan tahun yang lalu. Yang muda, tanpa keriput. Kemudaian Saga memandangku
dan aku tersenyum kearahnya. Senyuman tertulus yang akan selalu diberikan hanya
untuknya, lalu kami berjalan kembali, berjalan ketempat dimana kami dapat
bersama, bersama selamanya.
Kusadari
cinta kami akan tetap hidup dengan cara dan takdirnya sendiri. Mungkin ini
jalanku, jalan hidupku agar aku bisa lebih bahagia. jalan yang diberikan tuhan
secara berbeda pada setiap manusia. Entah itu dengan kehidupan atau kematian.
Tak pernah ada yang tahu.
Banyak cara dan cerita dibalik
kematian seseorang, tapi hanya ada beberpa alasan seseorang mati dengan tenang
dan bahagia, yaitu cinta yang membuat kematiannya menjadi lebih berharga. rasa
cinta yang tumbuh dari dalam diri dan seseorang yang mencintainya hingga
membuatnya tak akan pernah mati. Raga bisa saja mati tapi cinta mungkin belum
tentu bisa mati, meskipun terkadang kita tidak sanggup untuk menyadari sekalipun
bahwa cinta itu masih tetap ada, dan mungkin akan tetap ada. Sejauh apapun kaki
melangkah menuju beberapa kehidupan yang kian berbeda, sederas air mata yang terus
terjatuh, semuanya menandakan bahwa cinta itu akan selalu ada, dan tak bisa
mati.
No comments:
Post a Comment