Aug 6, 2012

"MAAF"



Cinta dimana kita menemukan seseorang yang bisa membuat kita tidak bisa mencintai orang lain selain dia, dimana perasaan bercampur aduk tak menentu, dimana semua hal yang dianggap tak wajar bisa menjadi wajar, dimana yang tak layak bisa selayaknya, dimana senyum bisa menjadi tangis, dimana luka bisa menjadi tawa.
Cinta sejati ada ketika perasaan itu akan tetap hidup dan tumbuh sekalipun seseorang yang kita cintai telah meninggalkan, menyakiti, dan pergi tak kembali akan tetapi cinta untuknya masih akan tetap ada dan tumbuh seiring waktu mengiringi langkah – langkah kehidupan yang terus berlangsung dan tak akan pernah sudi untuk berhenti.
“June, besok aku tidak bisa masuk kerja, anakku sakit demam dirumah dan suamiku sedang bertugas. Kamu sendiri  taukan suamiku seorang aparat kemanan negara”. Ucap Nadya teman seruanganku dikantor.
“Iya aku tahu, suamimu seorang TNI-AD yang siap sedia menjalankan tugasnya”. Ledekku iseng.
“Dasar June dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah. Kapan akan menikah dan segera memiliki seorang anak?”. Ucap Nadya
“Nanti setelah dia pulang”. Ucapku sambil mengerjakan pekerjaan kantorku.
“Lima bahkan Tujuh tahun yang lalu kamu terus saja menjawab dengan jawaban yang sama, sedangkan dia tidak kunjung datang untuk menemuimu, June”. Ucap Nadya lagi.
“Lima, Tujuh, Delapan, atau bahkan puluhan tahun aku akan tetap menunggunya kembali, karena itu janjiku padanya, setia menunggunya untuk kembali padaku”. Ucapku sambil berjalan meninggalkan ruangan untuk mengambil secangkir kopi.
“Terserah kamu. Dan selama itu juga kamu melajang”. Ucap Nadya sambil mengerjakan pekerjaannya.
                Mataku tidak tertutup untuk melihat kenyataan yang benar – benar terjadi padaku, Lima, Tujuh, Bahkan sekarang, sudah delapan tahun dia tak kunjung kembali kepadaku, aku tahu. Tapi bagaimana dengan perasaaanku padanya? Perasaanku yang tidak akan pernah habus untuk mencintainya bahkan jika sosoknya tak ada dihadapanku. Aku tetap tak bisa berhenti mencintainya, dan kuharap diapun seperti itu.
“June, kamu sedang apa? Kopimu kepenuhan”. Ucap Tracy karyawan asing yang bekerja di kantorku.
“Oh, aku kelelahan sehingga aku mengantuk. Maaf aku mengisi cangkirnya terlalu penuh”. Ucapku sambil mengambil tissu yang ada didapur kantor.
“Kamu baik – baik sajakan June?”. Ucap Tracy sambil membantu menglap kopiku yang berceceran.
“Iya Trac, aku gak apa – apa. Makasih atas bantuannya”. Ucapku yang masih membersihkan.
“Oh iya, malam ini aku ingin mengajak orang kantor untuk pergi ke restoran jepang, aku akan mentraktir kalian karena kali ini aku sudah tidak melajang”. Ucap Tracy sambil menunjukan Cincin yang dikenakan dijari manisnya padaku.
“Ya ampun !, berarti sebentar lagi kamu akan menikah?”. Ucapku tak percaya.
“Iya June, aku akan menjadi istri dari seseorang. Aku senang sekali June akhirnya dia melamarku”. Ucap Tracy dengan wajahnya yang sangat gembira.
“Akhirnya kamu menikah Trac, aku senang sekali mendengarnya”. Ucapku sambil memeluk Tracy.
“Giliranmu yang harus menikah setelah aku menikah”. Ucap Tracy padaku.
“Iya, sebentar lagi dia kembali, aku yakin”. Ucapku sambil meneguk kopiku.
“Kamu yakin akan terus menunggunya?. Aku pikir dia berbohong akan kembali padamu June. Ini sudah masuk tahun ke delapan kamu menunggunya dan dia tak kunjung kembali padamu. Apa kamu yakin padanya, june?”. Ucap Tracy mencemaskanku.
“Aku harus yakin dia akan kembali, meskipun aku tak tahu kapan ia akan kembali padaku”.ucapku sambil berjalan menuju ruangan kerjaku, dan melanjutkan kembali pekerjaanku.
“Kamu akan ikut setelah pulang kerja nanti?”. Tanya Nadya yang berdiri di samping kursi kerjaku.
“Acara Tracy? Iya aku mungkin akan ikut. Lagipula aku tidak ada kerjaan kantor lagi yang harus dibawa pulang”. Ucapku sambil menyelsaikan pekerjaanku.
“Baguslah, semoga kamu menemukan seseorang disana”. Ucap Nadya padaku.
“Maksud kamu?”. Tanyaku
“Seseorang yang bisa kamu jadikan pacar atau suami”. Ledek Nadya padaku.
“Memangnya seseorang itu bisa ditemukan hanya dalam hitungan beberapa waktu saja? Dasar kamu ini Nad”. Ucapku sambil mematikan komputerku karena pekerjaanku sudah selesai.
“Menurutmu butuh berapa tahun lagi untuk memulai hidup dari awal?”. Ucap Nadya.
“Kamu menghawatirkan aku?”. Ucapku sambil merapikan meja kerjaku.
“Iya, aku menghawatirkan teman seruanganku yang terus menunggu seseorang tanpa kabar. Kamu pikir umurmu berapa sekarang, apa ini waktunya untuk tetap melajang? Aduh!! Rasanya aku seperti seorang ibu yang sedang memaksa anaknya untuk segera menikah”. Ucap Nadya sambil mengenakan Jasnya.
“Makasih nad”. Ucapku sambil menggandeng tangannya dan berjalan menuju luar ruangan kerja.
--
“Wah Mau berapa banyak lagi orang itu minum Arak?”. Ucap Nadya sambil memperhatikan Her teman sekantor kami yang sedang berlomba meminum arak.
“Biarkan saja selagi mereka masih muda dan tubuh mereka masih kuat”. Ucapku sambil meneguk secangkir Arak.
“Argh! Anak ini juga ikut – ikutan, apa badan kamu masih sanggup menahan kerasnya Arak?”. Ucap Nadya sambil mengambil cangkir Arak dari tanganku.
“Masih. Akukan masih muda”. Ucapku sambil tersenyum pada Nadya.
“Hah! Dasar kamu ini. Umurmu sudah tidak seperti mereka lagi June”. Ucap nadya sambil menuangkan air teh hijau ke gelasku.  “Minum ini, jauh lebih baik”. Ucapnya lagi.
“Iya, aku tahu. Tapi sesekali ingin minum arak tidak apa – apakan?”. Ucapku sambil mengeguk teh hijau yang diberikan nadya padaku.
“June, kemari sebentar”. Ucap Tracy padaku dan aku berjalan menuju kearah Tracy.
“Kenapa Trac??”. Tanyaku
“Calon suamiku akan menjemputku sepulang kita merayakan ini. Aku ingin mengenalkan dia padamu, apa kamu ada waktu?”. Ucap Tracy yang sangat gembira, wajahnya tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya itu.
“Aku? Setelah ini aku harus pulang. Aku punya hewan peliharaan dirumah yang belum diberi makan. Maaf ya, mungkin lain kali saja”. Ucapku
“Oh begitu ya, kalau begitu lain kali kamu tidak boleh menolak lagi aku kenalkan pada calon suamiku”. Ucap Tracy padaku.
“Iya aku tidak akan menolak lagi”.

--
“Semuanya aku pulang duluan”. Ucaku pada teman – teman sekantorku.
“Kakak, jam segini memangnya masih ada bus?”. Tanya Her padaku
“Masih, eh itu dia busnya datang. Aku pulang duluan ya”. Ucapku sambil berjalan lalu menaiki bus yang berhenti dihadapanku.
“Hati – hati kak”. Ucap Her sambil melambaikan tangannya padaku.
                Aku duduk dikursi  bus kedua dari belakang. Hari ini busnya sangat kosong, mungkin karena hari sudah larut. Ini tempat duduk favoritku semenjak dulu saat aku masih kuliah. Dari sini Nampak terlihat aktivitas penumpang lain dan pemandangan diluar yang terlihat jelas, aku sangat menikmati pemandangan dari tampat duduk ini, sangat indah kurasa. Selintas aku jadi teringat saat delapan tahun yang lalu aku duduk dikursi bus seperti ini bersama dia, bersama seseorang yang aku cintai.
                Hari dimana untuk terakhir kalinya aku untuk melihatnya, menyentuhnya, dan memeluknya. Hari itu dia menghabiskan malam terakhirnya di Negara kami untuk kemudian ditugaskan ke Pakistan. Dia adalah seorang wartawan berita dan aku adalah seorang penulis yang berkerja di sebuah majalah kota yang sudah cukup terkemuka. Kami adalah pasangan yang suka sekali membicarakan berita – berita yang terjadi, baik itu berita tantang nusantara hingga berita kriminalpun kami bahas, kami sangat menyukai pembicaraan itu hingga kami sadar waktu tak lagi malam melainkan pagi, dan itulah akhir dari pertemuan kami.
                Seperti saat ini aku tak menyadari bertapa lelahnya aku untuk terus menunggunya. Bertapa tuanya aku untuk tetap menunggunya, bertapa malunya aku ketika akan menemuinya dengan kerutan – kerutan yang sudah mulai terlihat diwajahku. Kulitku yang halus tak lagi sehalus dulu. Tubuhku yang segar tak sesegar dulu, wajahku tak semuda dulu, semuanya telah berubah, diriku, penampilanku, dan hidupku.
“June, ayo cepat turun”. Ucap sopir bus yang sudah tidak asing lagi bagiku, dia adalah supir bus yang kukenal karena hampir setiap hari aku satu – satunya penumpang yang menaiki bus miliknya dijam – jam larut seperti ini.
“Iya pak. Terima kasih”. Ucapku sambil memberikan uang bayaran jasa dan lekas turun dari bus itu lalu berjalan menuju arah rumahku yang tak jauh dari jalan raya.
--
“Semuanya aku pulang”. Ucapku ketika aku masuk kedalam rumah.
Dan hanya Sayup sayup angin malam membalas salamku seperti biasanya. Aku tinggal sendirian, orang tuaku tinggal di kota yang berbeda denganku. Ini bukan keinginanku untuk memisahkan diri dari mereka tapi tuntutan dari pekerjaanku yang mengharuskan aku tinggal dikota yang berbeda dengan orang tuaku.
                Aku berjalan menuju akuarium dan memberi makan ikan – ikan peliharaanku. Kulihat mereka semakin tua, cara berenang mereka sudah tidak selincah saat dulu pertama kali aku membelinya, sekarang mereka berenang bagaikan ikan – ikan yang kelaparan tidak bertenaga dan menjadi tua. Mungkin aku juga seperti mereka, menua setiap harinya.
                Kupandangi wajah dan tubuhku didepan cermin dengan seksama. Wajah yang kulitnya sudah tak sesegar dulu, penuh kerutan dan tanda – tanda penuaan, dan tubuhku?, tubuhku tidak seperti dulu, semuanya mulai terasa kendur dan ada beberapa lemak yang tertimbun didalam tubuhku. Rambutkupun tak seindah dulu, tampak kusam dan lusuh. Selintas pertanyaan membayang dipikiranku, inikah aku? Inikah aku yang delapan tahun kemudian menjadi wanita tua? Wanita tua yang sendiri dan kesepian.
                Kutaburkan bedak sebanyak – banyaknya diwajahku, kuusapkah blush on di pipiku hingga merona, kugunakan eyelinear dan eyerolls untuk menutupi kantung mataku, tapi sumuanya masih terlihat jelas. Kerutan – kerutan itu dan mata yang mulai membengkak. Semua make up ini tidak membantu.
“Kenapa aku harus Tua!!!!!!! Tak bisakah aku tetap muda hingga dia kembali!!!!!!!”. Teriakku sambil melemparkan peralatan make up ku ke lantai dan berlari menuju kamar mandi.
                Kurebahkan tubuhku di bath Up, air hangat ini mungkin bisa membantu mengembalikan suasana hatiku menjadi baik. Tapi kurasa tak membantu!!
                Wajahnya, senyumnya, kata – katanya sangat – sangat terlukis jelas diingatanku dan tak bisa kuhapus meskipun berkali – kali sudah kucoba. Air ini tak sehangat ketika ia memelukku, air ini tak setenang seperti saat ia berada disampingku. Air mata yang menetes ini tak berarti bila ia tidak ada disini. SEMUA HIDUPKU TAK BERARTI TANPANYA!!
--
“June, apakah kamu baik – baik saja? Kulihat seharian ini kamu tampak murung?”. Ucap Tracy duduk disampingku pada saat istirahat makan siang.
“Iya”. Ucapku sambil tersenyum kepada Tracy.
“Apa kamu sakit June?”. Ucap Tracy sambil memegang dahiku.
“Tidak, aku baik – baik saja”. Ucapku
“Kenapa makannya tidak kamu makan? Ada apa June? Tak bisakah kamu berbagi dengannku?”. Tanya Tracy padaku lagi.
“Tidak, aku tidak apa – apa Trac”. Ucapku sambil berjalan menjauhi Tracy.
Langkah demi langkah terasa sangat ringan. Mataku pun terasa sudah rabun. Tubuhku yang sudah tua ini rasanya berjalan tidak karuan. Kakiku pun sudah tak sanggup menopang tubuhku lagi hingga aku terjatuh dan semuanya menjadi gelap, gelap sekali.
“June, kamu baik – baik saja?”. Ucap seseorang yang suaranya sudah tidak asing lagi bagiku.
                Sedikit demi sedikit aku membuka mata, terlihat sosok seseorang yang sangat familiar untukku meski penglihatanku agak kabur, tapi lama kelamaan sosok itu terlihat jelas. Jelas sekali hingga aku tak sanggup untuk tidak menatapnya sedetikpun.
                Seseorang yang selama ini ingin kutemui, ingin kusentuh, ingin kupeluk, dia ada dihadapanku. Dia berdiri disampingku dan tangannya yang hangat sangat terasa menggenggamku. Dia, dia adalah seseorang yang Selama ini kutunggu, ini benar dia. DIA ADA. DIA NYATA DAN DIA HIDUP. dan aku tak tahu harus bagaimana ketika dia menemuiku seperti ini.
“June”. Ucapnya dengan nada suara yang tak pernah berubah, suara yang menggetarkan seisi hatiku, suara yang selama ini kurindu untuk menyebut namaku.
“Ga. . .”. ucapku yang tiada henti menatapnya, dan menggengam tangannya.
“Maaf June aku baru bisa datang sekarang. Maaf aku membuat waktumu terbuang sia – sia hanya untuk menungguku. Maaf karena aku terlambat”. Ucapnya dengan mata berkaca – kaca.
“Saga, tak ada kata terlambat untuk kamu kembali kepadaku dan tak ada kata sia – sia untuk aku menunggumu”. Ucapku lalu menyentuh wajahnya.
“Maaf June, karena aku hidupmu susah, maaf karena aku kamu harus disini, maaf karena aku kamu terus sendirian”. Ucapnya lebih erat menggengam tanganku.
“Beribu ucap kata maaf tak penting buat aku Ga, yang terpenting kamu kembali meskipun kini aku sudah tak semuda dulu, tubuhku tak sesegar dulu. Kerutan – kerutan diwajahku mulai tumbuh, lemak – lemak ditubuhku tertimbun, dan kulitku menua, aku akan disini dan menunggumu kembali seperti ini”. Ucapku yang tanpa sadar meneteskan air mata.
“Kata maaf itu penting ketika janji tak lagi bisa ditepati, kata maaf itu penting ketika kita tak bisa lagi melakukan hal apapun, dan kata maaf itu penting ketika kita tak bisa membalas semua pengorbanan, cinta, kasih sayang, dan hidup seseorang. Kata maaf itu penting karena hanya itu yang bisa teruucap tak ada kata lain yang dapat mewakilkan segala penyesalaan dan ketidak bergunaan dalam diri selain kata maaf”. Ucap Saga yang juga meneteskan air mata.
“Kenapa kata maaf itu lebih penting bagimu dari pada pertemuan ini? Apa setelah ini kamu juga akan meninggalkan aku lagi? Dan membuatku menunggu lima, tujuh, atau bahkan delapan tahun kedepan? Menunggumu hingga diriku berubah menjadi wanita tua yang kesepian tanpa cinta??”. Ucapku penuh emosi.
“Maaf”. Ucapnya sambil memelukku. “Maaf membuat kamu seperti ini”.
“Aku sadar, aku bukan lagi June yang berumur 22 tahun yang terakhir kali kamu lihat, kamu sentuh dan kamu peluk. Aku june yang berumur 29 tahun. June yang sudah mulai keriput, june yang tua dan kesepian, aku sadar dibanding denganmu yang kulihat aku lebih tua terlihat darimu meski kamu lebih tua 3 tahun dariku. Apa itu penyeselanmu? Karena harus bersama wanita tua seperti aku? ”. ucapku lirih sambil terus memeluknya.
“Maaf”. Ucapnya
“Bisakah berhenti mengatakan maaf? Itu membuat aku merasa takut”. Ucapku lagi.
“Maaf”. Ucapnya lagi.
“Tolong hentikan!  jangan katakan  kata maaf itu lagi padaku, aku merasa tak berarti bila kamu pergi meninggalkan aku, aku tak sanggup lagi menunggu, aku tua!!! AKU SUDAH TUA!!”. Ucapku sambil menangis dipelukannya.
“Maaf”. Ucapnya
“Aku takut. Takut sekali kamu tidak bisa kembali dan menemui aku. Aku takut aku tak bisa lagi melihatmu, aku takut tak bisa lagi menyentuhmu, aku takut tak bisa memelukmu, aku takut aku menjadi wanita tua yang kesepian menunggumu, aku takut. Aku sangat takut apa kamu tahu itu?? Aku takut maka hentikan berkata maaf padaku lagi, karena aku takut, takut kamu pergi meninggalkanku lagi”. Ucapu masih memeluknya dan terus menangis.
“Maaf”.
                Aku berhenti memeluknya dan memandangi wajahnya. Wajah yang tak berubah seperti saat kami terakhir bertemu delapan tahun yang lalu. Wajah yang sama, tubuh yang sama, suara yang sama tak sedikitpun ada yang berubah dari dia, tidak seperti aku yang mengalami banyak perubahaan. Wajahnya yang menangis dihadapanku, wajahnya yang tiada henti memandang wajahku, wajahnya yang tak pernah ingin sedikitpun waktu terlewatkan untuk melihatnya terus menerus, wajahnya yang membuat hatiku terasa sakit dan bahagia ketika memandangnya.
“Untuk apa datang kepadaku bila kamu harus meninggalkan aku lagi?”. Ucapku padanya.
“Maaf”.
“Apa karena aku berubah menjadi wanita tua sedangkan kamu tidak?? Apa karena perasaanmu padaku sudah hilang?. Puas menyiksaku seperti ini?” Teriakku padanya.
“Maaf”.
“Apa kesalahanku hingga kamu berani menghukumku seperti ini?”.
“Maaf”.
“Apa kamu tidak bisa mengucapkan kata lain selain maaf??”.
“maaf”.
“Aku lelah mendengar kamu terus mengatakan itu. Sudah aku bilang aku takut. Tolong hentikan, kumohon hentikanlah demi aku, demi aku yang Selama ini mencintaimu, demi aku yang tiada henti menunggumu, demi aku yang  menanggis dihadapanmu, tolong hentikan. Hiks. . .hiks. . .”.  ucapku yang tak kuat lagi menahan semua emosi.
“Maaf June, hanya itu yang akan selalu kukatakan padamu, selama waktu mengijinkanku untuk menemuimu”. Ucap Saga sambil menghapus air mataku.
“Sekarang, haruskah kamu pergi  dan meninggalkan aku lagi?”. Ucapku sambil menangis
“Maaf June”.
“Jangan katakana maaf, katankan padaku haruskah aku menunggumu lagi hingga aku bertambah tua??”. Ucapku lagi
“Tidak June, tidak lagi”. Ucapnya sambil menatap wajahku.
“Kenapa aku tidak boleh menunggumu?”. Ucapku sambil menggenggam tangannya.
“Karena aku tak mungkin kembali padamu”. Ucapnya
“Kenapa? Ada seseorangkah?”. Tanyaku dengan emosi yang terus meledak – ledak setiap waktunya.
“Tidak selain kamu, tapi karena aku tidak bisa kembali padamu maka dari itu ingin rasanya terus kukatakan maaf padamu hingga kamu memaafkan aku”. Ucapnya sambil menggengam tanganku.
“Tidak akan pernah aku maafkan”. Ucapku sambil melepaskan tangannya lalu berjalan menjauh darinya.
“maaf june”. Ucap saga yang masih tetap berdiri di belakangku tanpa mengejarku yang berjalan menjauh darinya.
“June!!!”. Kudengar suara seseorang berteriak memanggilku.
“June. .”
“June!!!!”.
                Aku melihat wajah Tracy tepat berada dihadapanku. Dan kulihat tidak ada Saga lagi. Aku segera terbangun dari ranjang rumah sakit dan berjalan kerarah sekitar untuk mencari saga.
“Saga!!!”. Teriakku sambil terus berjalan tanpa mengenakan alas kaki.
“Saga!!!!!! Saga!!!”. Teriakku lagi dan tanpa sadar air mata menetes membasahi pipiku. Aku terus mencari disemua sudut ruangan, tapi tak kunjung kutemui dia.
“Saga!!!!”. Teriakku lagi sambil terus berjalan mencari saga di sekitar rumah sakit.
“June!!”. Teriak Tracy sambil menarik tanganku dan menghentikan langkahku.
“Saga!!!!!!!!!” teriakku lagi. “Mana Saga???? Saga!!!!!!”. Teriakku lalu duduk dan terdiam di  lantai rumah sakit.
“June”. Ucap Tracy sambil memelukku dan menangis.
“Sa. .ga. . .”. ucapku lirih
“June, kumohon hentikan. Hentikan semua penantianmu ini”. Ucap Tracy padaku.
“Saga. . .”. ucapku terus menangis.
“June, jangan menyebut namanya lagi. Ini membuat kamu semakin sakti June. Hentikan June kumohon, hentikan”. Ucap Tracy sambil terus memelukku.
“hiks. . .hiks. .aku tidak akan memaafkan dia bila dia tidak kembali lagi padaku saat ini, aku tidak akan berhenti menunggunya bila dia tidak disini sekarang, aku akan tetap berteriak memanggil namanya bila dia tidak datang sekarang aku akan tetap begini tak ingin berhenti menunggunya”. Ucapku  dengan air mata yang tidak berenti mengalir.
“June cukup. Hentikan semua ini June. Ini hanya akan membuat kamu terluka”. Ucap Tracy padaku.
“Aku tahu dia disini, aku tahu dia bersembunyi karena tidak ingin bertemu dan kembali lagi padaku, aku tahu itu, maka dari itu aku tak akan memaafkan dia bila dia tidak datang sekarang, tidak akan pernah aku maafkan”. Ucapku lagi.
“Saga!!!!!!!”. Teriakku lagi sambil melihat kesekeliling.
“June, kumohon hentikan”. Ucap Tracy terus memelukku.
“Tracy!!!!”. Teriak seorang pria dari arah lorong tempat kami duduk.
“Dan!!!”. Ucap tracy.
“Maaf aku terlambat”. Ucap seseorang itu pada Tracy.
Aku melihat kearah laki – laki yang berteriak memanggil nama Tracy, itu mungkin calon suaminya.
“Sudah waktunya Dan, tolong jangan buat dia menunggu lagi”. Ucap Tracy pada pria itu.
“Iya”. Ucap pria itu sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil yang diberi pita berwarna merah dan secarik kertas dari tas yang ia bawa.
“Ini”. Ucap pria itu memberikan kotak dan surat itu padaku.
“Apa ini?”. Tanyaku sambil mengambil kotak dan surat yang ia berikan padaku.
“Itu milik Saga”. Ucapnya padaku.
“Saga??”. Ucapku sambil membuka kotak kecil yang ia berikan, ternyata kotak itu berisi sebuah cincin yang di bagian dalamnya bertuliskan ‘saga’. Aku memandangi cincin itu lalu mengnakannya dijari manisku seperti cincin yang digunakan Tracy di jari manisnya. Dan aku membuka secarik kertas lusuh yang hanya bertuliskan ‘Maafkan aku June’.
“Itu yang ingin Saga berikan padamu,  saat dimana ia akan kembali untuk menemuimu”. Ucap pria itu padaku.
“Mana Saga!!!!!!!!!!!!!!!”. Teriakku sambil menarik kasar kerah pakaian pria itu.
“June”. Ucap Tracy yang berusaha menenangkanku.
“Saat itu hari dimana hari terakhir kami bertugas di Pakistan. Ia mempersiapkan cincin itu untuk melamarmu setibanya nanti.  Tapi malam itu juga ia ingin segera memakai cincin yang bertuliskan namamu di jarinya, padahal sudah kukatakan biar nanti kamu yang memasangnya tapi dia bilang dia sudah tidak sabar mengenakan cincin ini dijarinya. Esok harinya kami akan pulang dengan halikopter yang dikirmkan untuk para wartawan yang meliput di daerah itu, tapi Saga tidak ikut bersama kami, ia melihat anak kecil menangis ditengah – tengah lapangan yang saat itu sedang marak sekali adu peluru antara petugas dengan rakyat sipil, dan Saga memutuskan untuk menolong anak kecil itu lalu menunda perjalanan pulangnya untuk menggunakah helikopter esok harinya. Aku sangat kawatir padanya tapi dia bilang, aku akan baik – baik saja lalu ia menyuruhku pulang dan ia berjanji akan menghubungiku malamnya. Aku terus menunggu bahkan aku diam – diam membiarkan hpku agar bisa terus aktif dalam pesawat.  Jam demi jam kutunggu tapi tak ada telfon darinya. Hingga esok paginya saat kami telah sampai di bandara ia menelfonku dan mengatakan ‘Jangan kawatir aku baik – baik saja dan akan segera pulang pagi ini’ itu kata – kata terakhir yang aku dengar darinya lewat hpku. Aku menunggunya dikantor hingga esok harinya, tapi ia tak kunjung datang. Hingga malam harinya ada beberapa petugas yang datang ke kantorku memberikan tas yang berisikan kotak dan secarik surat yang lusuh ini padaku. Mereka mengatakan pesawat yang dinaiki saga mengalami gangguan sehingga terjatuh ke lautan daerah laut seram, dan mereka menemukan tas ini terapung diatas laut, mereka menduga saga melemparnya keluar lebih dulu sebelum ia menyelamatkan diri lalu surat itu mungkin ditulisnya pada saat – saat emergency. Tapi sayangnya, hingga detik inipun mayatnya tak pernah ditemukan bahkan kerangka kapalnya pun tidak ada, itu yang selama ini ingin kukatakan padamu”. Ucap pria itu padaku.
                Aku tak sanggup berucap kata sedikitpun, rasanya hati dan jiwaku telah mati ketika aku sadar bahwa aku telah kehilangan orang yang selalu kutunggu setiap waktunya. Air mataku tak berhenti mengalir dan lebih deras mengalir dari sebelumnya. Kurasakan tubuhku seperti tanpa nyawa dan aku merasa tak hidup. Aku sangat menyadari bahwa aku tak mungkin bisa melihatnya, menyentuhnya bahkan memeluknya, dalam mimpiku itulah yang terakhir kali aku bisa merasakan semuanya. Meliaht apa yang ingin kulihat, menyentuh apa yang ingin aku sentuh, dan memeluk dia yang ingin kupeluk.
                Aku merasa, kini aku hanya seorang wanita tua yang kesepian dan akan terus seperti itu, selamanya akan seperti itu. Menanti seseorang yang tak akan pernah kembali padaku meskipun aku memohon sekeras apapun. Wanita tua kesepian yang tak berdaya, yang hidup tapi jiwanya mati bersama seseorang yang ia cintai.
                Perlahan ku angkat tubuhku dan kulangkahkan kakiku, semuanya terasa berat. Tubuhku, kakiku dan langkahku semuanya terasa sangat berat. Apakah bebannya seberat ini? Apakah seberat ini kehilangan dia hingga  aku merasa aku tak mampu lagi berjalan, terlalu berat. Sungguh terlalu berat, dan luka yang terasa juga begitu teramat sakit, apakah sesakit ini rasanya?
     “June!!”. Teriak Tracy sambil mengejarku.
                Aku membalikan tubuhku kearah Tracy. Kuhapus air mataku dan aku tersenyum padanya, ingin sekali kukatakan terima kasih tapi bibir ini tak sanggup mengatkannya. Kutegapkan tubuhku dan kulangkahkan kakiku kembali, kuayunkan tanganku dan kulihat cincin miliku terlihat sangat bersinar, secerah perasaan cinta yang tulus dari saga untukku dan dariku untuk saga. Sekarang semuanya terasa lebih ringan kurasa. Setelah kusadari rasa Cinta saga tak mati seperti raganya, cintanya hidup didalam hatiku lewat cincin yang kukenakan ini. Tubuhku, kakiku, langkahku dan senyumku semuanya terasa lebih ringan, sangat ringan dan entah kenapa terasa semua beban hilang.
                Aku berjalan terus kearah luar rumah sakit dengan langkah yang sangat ringan dan senyuman yangselama ini tak pernah lagi ku tebarkan dengan setulus ini. Sesaat kupandangi cincin yang kukenakan tadi, terlihat sangat indah dengan gemerlap cahaya lampu malam ini. kugenggam erat tanganku yang mengenakan cincin itu seolah tangan sagalah yang sedang ku genggam dan tak ingin sedikitpun kulepaskan karena aku ingin terus bersama saga, saat ini dan waktu kapanpun ketika kesempatan itu ada, aku ingin bersamanya dan selalu bersamanya dan tak ada artinya penantianku ini bila aku tidak bersamanya, aku sudah tua, aku tak muda lagi sekarang , dan aku ingin tetap bersamanya, ingin dan akan selalu seperti itu.
                Tiba – tiba kurasakan tubuhku terhempas dan terlempar kejalanan. Sangatlah ringan dan tidak terasa apapun,  tak ada beban. Samar – samar kulihat cahaya remang lampu mobil yang berlumuran darah berada tepat dihadapanku, dihadapanku yang kini terkapar dijalanan dengan darah diwajah, lengan dan kakiku, tapi itu bukan yang terpenting. Yang terpenting aku masih menggenggam cincin dijariku utuh seperti saat saga melemparkan tas yang berisi cincin ini agar bisa diberikan kepadaku dalam keadaan utuh, dan ini hal yang bisa membuatku masih tersenyum. Tersenyum ditengah kerumunan orang yang melihatku yang berlumuran darah ini yang menanti kematian menjemput.
“June!!!!!!!!!!!!”. Teriak seseorang yang kukenal, ya Tracy berteriak memanggilku dan menghampiriku bersama calon suaminya.
“June. . . jangan seperti ini, bertahanlah!”. Ucap Tracy sambil memelukku.
“Terima kasih”. Ucapku padanya. “Terima kasih karena telah membuat aku memaafkannya”. Ucapku lagi lalu tersenyum menatap wajah Tracy yang kemudian tak kulihat lagi wajah Tracy.
                Kulihat semuanya berbeda, aku bisa melihat tubuhku yang dipeluk erat oleh Tracy. Kulihat tangannku masih kuat mengenggam cincin pemberian saga itu. Aku berjalan menjauhi kerumunan itu dan kulihat seseorang disebrang sana. Seseorang yang telah kumaafkan. Seseorang yang membuatku menunggu hingga aku tua. Aku berlari kearahnya dan memeluknya erat. Kurasakan pelukannya nyata. Aku bisa melihatnya, menyentuhnya bahkan memeluknya erat seperti ini. Inikah caraku bisa bersama dengannya? Inikah jalannya? Jalan dimana sekarang aku menemui saga?.  Dia menggenggam tanganku dan kami berjalan bersama dengan langkah yang ringan.
                Kulihat wajahku tidaklah setua tadi, semuanya berubah. Aku menjadi aku sama seperti aku delapan tahun yang lalu. Yang muda, tanpa keriput. Kemudaian Saga memandangku dan aku tersenyum kearahnya. Senyuman tertulus yang akan selalu diberikan hanya untuknya, lalu kami berjalan kembali, berjalan ketempat dimana kami dapat bersama, bersama selamanya.
                Kusadari cinta kami akan tetap hidup dengan cara dan takdirnya sendiri. Mungkin ini jalanku, jalan hidupku agar aku bisa lebih bahagia. jalan yang diberikan tuhan secara berbeda pada setiap manusia. Entah itu dengan kehidupan atau kematian. Tak pernah ada yang tahu.
Banyak cara dan cerita dibalik kematian seseorang, tapi hanya ada beberpa alasan seseorang mati dengan tenang dan bahagia, yaitu cinta yang membuat kematiannya menjadi lebih berharga. rasa cinta yang tumbuh dari dalam diri dan seseorang yang mencintainya hingga membuatnya tak akan pernah mati. Raga bisa saja mati tapi cinta mungkin belum tentu bisa mati, meskipun terkadang kita tidak sanggup untuk menyadari sekalipun bahwa cinta itu masih tetap ada, dan mungkin akan tetap ada. Sejauh apapun kaki melangkah menuju beberapa kehidupan yang kian berbeda, sederas air mata yang terus terjatuh, semuanya menandakan bahwa cinta itu akan selalu ada, dan tak bisa mati.

No comments:

Post a Comment